Oops I did it again with Sinta
Hi, rekan-rekan pembaca, kali ini aku akan menceritakan pengalamanku yang lain yang tidak kalah menariknya dari kisah-kisahku sebelumnya seperti, “Hadiah Bagi Pahlawan” dan “Farewell to Diana”. Kembali kuperkenalkan dulu diriku, namaku Leo, sekarang kuliah semester 7 di sebuah universitas swasta di Jakarta, umur 22 tahun dan tinggi badan 178 cm.
Kejadiannya masih dengan orang yang sama dengan kisahku yang sebelumnya, yaitu Sinta. Dia adalah teman sekampusku yang berbeda fakultas, selain itu dia juga teman kostku. Tingginya kira-kira 160 cm, umur 21 tahun, keturunan Chinese sepertiku, rambutnya kini sudah panjang sebahu lebih di-highlight kemerahan. Sifatnya yang periang dan lucu membuatnya mudah dekat dengan orang lain. Namun Sinta ini agak nakal, sehingga tidak heran ketika umur 16 tahun sudah kehilangan keperawanannya, dan sampai sekarang sudah 3 kali pacaran. Dua kali pacaran di SMA yang berumur pendek, dan yang sekarang yang ketiga dengan temanku yang sedang belajar di luar negri.
Saat itu Sinta baru pulang dari rumah sakit setelah beberapa hari lamanya menginap di sana akibat jatuh dari tangga kampus. Walaupun sudah keluar rumah sakit, tapi kaki kirinya masih diberi obat dan belum dapat berjalan dengan benar, sehingga harus dibantu dengan tongkat. Ya, selama masa-masa itulah dia menjadi ‘ratu’ di kost kami, beberapa keperluan seperti makan dan urusan beli membeli dibantu oleh teman-teman kostnya termasuk aku.
Suatu malam aku baru belanja di mini market dekat kostku, sekalian kubelikan juga barang-barang titipan Sinta. Waktu itu sudah hampir jam 9 malam, tapi kamar Sinta masih menyala, maka aku menyempatkan diri berkunjung ke sana sekalian menyerahkan barang-barang titipannya.
“Masuk aja, belum dikunci kok..!” sahut suara dari dalam ketika pintu kuketuk.
Sinta sedang duduk di ranjang sambil nonton TV, “Eh, Le tolong sekalian ambilin rokok gua dong di laci meja dong..!” pintanya.
Kuberikan sebungkus rokok itu padanya dan dia menyulutnya sebatang.
“Masih melek juga lu Sin, ngga ngantuk nih..?” tanyaku.
“Ya gimana bisa ngatuk, hampir seharian di ranjang melulu kok, lu kok baru dateng sekarang sih, gua BT banget nih, acara TV-nya pada garing lagi, uuhh.., sebel..!” gerutunya.
“Kan gua sibuk Sin, temen-temen lain kan tadi juga banyak yang main ke sini kan.”
“Iya, tapi kan sepi kalo ngga ada lu buat temen ribut.” jawabnya sambil tersenyum nakal.
Kami akhirnya ngerumpi macam-macam sampai tidak terasa sudah lebih dari jam 10 malam, dan kulihat Sinta sudah menghabiskan 2 batang rokok.
Sebelum dia hendak mengambil kotak rokok untuk mencabut batang yang ketiga, aku mendahuluinya dan berkata, “Udah Sin, ini udah ketiga loh, lagi sakit gini kok makan asap terus sih, mau cepet mati yah..?”
“Aahh.., kok gitu sih, gua di rumah sakit ngga boleh ngerokok nih, kembaliin sini..!”
“Jangan ah Sin, ngga baik, lu kan belum sembuh betul..!” kataku sambil mengoper ke tangan yang satu lagi, sehingga kotak rokok itu makin menjauh darinya.
Sinta hanya dapat menggapai-gapai karena kakinya masih pincang sebelah.
“Iihh.., yang lagi sakit kan kaki gua, ngga nyambung lu ah, mana sini..!”
“Udah ah, besok aja lagi, udah segitu banyak masa ngga cukup sih..?”
Sinta lalu melipat tangan dan membuang muka terhadapku, “Jahat..! Lu beraninya cuma sama cewek pincang, sebel..!”
Nah, keluar deh salah satu ‘jurus’-nya kalau keinginannya tidak dituruti, paling pusing deh kalau dia sudah begini.
“Alahh, udahlah Sin, gua sih udah ngga mempan sama cara gituan, ini kan buat kebaikan lu juga.” bujukku mencoba menenangkannya.
“Eeemmhh.. Leo jahat, awas loh, pokoknya ntar gua bilangin ke Vivi lu dulu pernah gituin gua sama Ci Diana..!” ancamnya, lalu dia berbaring dan menarik selimut sampai menutupi kepalanya.
“Aduh, Sin jangan gitu dong, kita damai aja deh ya..?” kataku sambil menggoyangkan badannya.
Tapi dia tetap diam di balik selimut, maka kudekatkan posisiku dengannya dan mengguncang-guncangkan badannya lebih keras.
“Sin.., Sin..! Wah, marah euy, sori dong Sin, gua kan cuma main-main aja, gitu aja kok marah sih..!”
Tiba-tiba dia membuka selimut dan menyambar tanganku yang memegang rokoknya. Aku yang tidak menduga gerakannya tentu saja kaget dan kehilangan keseimbangan, sehingga ikut tertarik ke depan. filmbokepjepang.com Dengan tidak sengaja aku menyentuh payudaranya, namun anehnya kami malahan terdiam dalam posisi itu. Wajahku hanya 5 cm dari wajahnya, aku dapat merasakan di balik dasternya itu dia tidak memakai BH. Wajah Sinta memerah dan memelototiku, tapi entah karena kekuatan apa, wajah kami makin mendekat saja seperti magnet.
Tanpa pikir panjang lagi, langsung kulumat bibir Sinta yang indah itu. Kami berciuman mesra, kini mulut kami mulai membuka dan beradu lidah. Sinta begitu agresif memainkan lidahnya di mulutku, teknik berciumannya sangat profesional, maklum walau lebih muda tapi pengalaman sex-nya lebih banyak dariku.
Ciumanku mulai turun ke telinga dan lehernya, sementara tanganku meremas dadanya. Kubuka selimut yang menutupi tubuhnya, lalu kusingkap pakaian tidurnya sehingga tampak kedua belah pahanya yang panjang dan putih mulus dengan kaki kiri yang terbalut perban itu.
“Le.., pintunya, pintunya kunci dulu dong, ntar ada yang tau..!” katanya.
Aku baru sadar dan segera kukunci pintu dan kumatikan lampu kamar dan menyisakan lampu neon 10 watt di dekat ranjang.
Setelah kubuka seluruh pakaianku dan menyisakan CD-ku, kudekati dia yang terbaring pasrah. Aku menaikkan dasternya perlahan-lahan sambil mengelus-elus tubuhnya yang mulus. Sekarang yang tersisa di tubuh Sinta hanya sebuah celana dalam putih tipis yang menampakan bulu-bulu kemaluanya yang lebat. Aku berbaring di sisinya dan memulai seranganku dengan mengecup lembut bibirnya, sementara tanganku mulai merambat ke bawah mengusap-usap kemaluannya yang masih tertutup CD.
Nafas Sinta sudah mulai memburu dan mengeluarkan suara-suara tidak jelas seperti mengigau, mulutku terus turun menuju payudaranya. Puting susunya yang mungil berwarna pink itu kuemut disertai dengan gigitan-gigitan kecil. Di tempat lain, tanganku menyusup ke dalam CD-nya, jari-jariku bermain di vaginanya yang mulai basah. Mula-mula kugosok-gosok dan kupermainkan klistorisnya dengan lembut, sampai tiba-tiba kusodokkan jariku ke dalam liang itu agak keras, sehingga Sinta tersentak dan menjerit kecil.
“Awww.., Leo. Gitu ihh.. ngagetin orang melulu, sebell..!” katanya sambil mencubit dadaku.
Aku tersenyum licik dan berkata, “Apa Sin..? Kaget..? Gimana kalo gini lebih kaget ngga..?”
Habis berkata, aku langsung menusuk-nusukkan jariku dengan cepat pada vaginanya, sehingga dia menggelinjang-gelinjang seperti cacing kepanasan.
“Aahh.. oohh.. Le.. jelek..! Awww.., sebel ihh..!”
Aku tambah bergairah mendengar jeritannya itu, kutambah lagi seranganku dengan mengulum daun telinganya dan sesekali kujilati lubang telinganya. Sinta semakin erat memelukku.
“Le.., oohh.. udah dong.., jangan siksa gua.. ahh..!”
Saat tubuhnya mulai mengejang, aku menghentikan seranganku pada vaginanya dengan maksud mempermainkan nafsunya.
“Yahh.., kok udahan sih, padahal kan bentar lagi..?” protes Sinta dengan nafas masih memburu.
“Hehehe.., sabar Sin, ini baru pemanasan, liat aja nanti..!”
Kukeluarkan tanganku dari celana dalamnya, dan kulihat jari-jariku belepotan cairan bening dari liang kemaluan Sinta. Kuoleskan cairan itu pada payudara kirinya.
“Eemmhh Leo, jorok iihh..!”
Aku tidak perduli omelannya, dan kuteruskan dengan menjilati dadanya yang sudah kuolesi dengan love juice, rasanya memang aneh tapi sungguh nikmat, apalagi bercampur dengan payudara montoknya Sinta, sukar dilukiskan rasanya.
Setelah puas menyusu, aku mengambil posisi berlutut diantara perutnya, dan Sinta yang sudah tahu kemauanku segera bangkit dan duduk di ranjang. Kini batang kemaluanku yang masih terbungkus celana dalam tepat di depan wajah Sinta. Mula-mula dielus-elusnya gundukan keras itu dengan tangan dan pipinya, lalu dibukanya CD-ku hingga menyembullah benda di baliknya yang sudah mencapai ukuran maksimal.
“Ckk.. ck.. ck.. gile, lucky banget tuh si Vivi bisa sering diservis ama ‘adek’ lu ini, gua paling cuma kalo si Andry pulang aja..,” katanya sambil mengelus-elus penisku.
Bibir Sinta mulai turun menuju kedua bola ‘pusaka’-ku, dijilati dan diemutnya benda itu. Setiap jengkal kemaluanku tidak luput dari jilatannya, hingga kemaluanku basah kuyup oleh ludahnya, tapi dia belum juga memasukkan penisku ke mulutnya.
“Sin, cepet dong, kok cuma dijilat aja, ngga tahan nih..!” kataku tidak sabar.
“Eeiitt, sabar Le, ini kan baru pemanasan, tunggu dong, kalau makan es krim waktu panas-panas kan harus pelan-pelan baru kerasa enaknya.”
Sialan, pinter juga nih anak membalasku tadi, tapi bener juga perkataannya, kalau terlalu buru-buru memang kurang terasa nikmatnya.
Kini diarahkannya penisku ke mulutnya, mula-mula diciumnya kepala kemaluanku, kemudian perlahan-lahan mulut mungilnya mulai membuka, sedikit demi sedikit batangku ditelan sampai menyentuh di tenggorokkannya, sebelum mulai dia melirik padaku dulu dengan tatapan nakalnya. Harus kuakui, sungguh hebat si Sinta ini dalam bercinta, penisku dikulum-kulum dalam mulutnya, divariasikan dengan permainan lidahnya. Terkadang dia juga menjilati lubang kencingku, sehingga aku tidak tahan untuk tidak mendesah.
“Uuuhh.., aakkhh.. edan.. belajar darimana.. lu.. aahh.. Sin..? Enak banget ahh..!”
Tanpa menghiraukan pertanyaanku, dia terus mengkaraoke penisku, kepalanya maju mundur dan sesekali dia melirik wajahku untuk melihat reaksiku.
Dalam waktu kurang dari 15 menit, akhirnya, “Creet.. creet.. creet..!” beberapa kali ‘adik’-ku muntah-muntah di mulut Sinta disertai desahan panjangku.
Hebatnya, dia tidak melepaskan penisku dari mulutnya, dia tampak berkonsentrasi menghisap dan menelan habis semua cairan itu. Penisku serasa disedot vacum cleaner saja waktu itu, tidak sedikitpun spermaku menetes keluar dari mulutnya. Baru setelah tidak ada yang muncrat lagi, dia perlahan-lahan melepaskan penisku.
Dia tersenyum padaku dan berkata, “Wah, payah lu, baru sebentar udah ngecret, si Andry aja masih tahan lebih lama dari lu loh..!”
“Habis udah konak banget sih Sin, lagian lu kok karaokenya enak banget, beda sama Vivi dan Ci Diana, swear loh..!”
“Iyalah Le.., Vivi dan Ci Diana kan cewek alim, ngga bandel kaya gua..”
Sinta kembali berbaring, celana dalamnya kulepas dengan hati-hati, terutama saat melewati kaki kirinya, karena takut menyakitinya.
“Sin, jangan terlalu ribut yah, kalo si Thomas dan Ami denger bisa gawat..!” kuperingatkan dia karena posisi kamar ini tidak begitu strategis, sementara Sinta kalau ML ribut banget.
Pantas kalau Andry pulang ke Indonesia, Sinta sering tidak pulang ke kost, rupanya si Andry juga mau cari aman.
Aku mengatur posisi, Sinta berbaring miring dan kaki kanannya kuangkat. Meskipun unvirgin, tapi kemaluannya masih rapat dan kencang (pasti rajin dirawat nih), penisku lumayan susah juga menembus vaginanya, untung ada love juice dan ludah yang melumuri penisku sebagai pelumas. Perlahan-lahan penisku mulai tertanam pada liang itu diiringi desah kenikmatan Sinta. Saat kurasa penisku sudah masuk penuh, kuhentikan sejenak aktivitasku agar Sinta dapat terbiasa dan menikmati dulu.
Sambil kubelai rambutnya, kusentakkan pelan pinggulku, makin lama gerakkanku makin cepat, bahkan sesekali aku melakukan sodokan keras terhadapnya. photomemek.com Sinta menjerit-jerit sambil menggigiti jarinya berusaha agar jeritannya tidak terlalu keras. Hampir setengah jam kami bertahan dengan posisi itu, kurasakan dinding kemaluannya mulai berdenyut-denyut menyebabkan penisku makin tertekan. Tubuhnya meronta-ronta dengan liar, jeritan yang keluar dari mulutnya pun makin histeris. Mendengar rintihan tidak karuan itu, aku makin ganas saja, payudaranya kuremas-remas dengan brutal, sehingga dia makin kesetanan.
“Le.., ahh.. akkhh.. boleh.. ohh.. di dalam.. akhh..!” katanya lirih.
Kami akhirnya mencapai puncak kenikmatan bersama, spermaku tertumpah di rahimnya, sebagian meleleh keluar karena cukup banyak. Kulumat bibirnya agar jeritannya terhambat. Sambil berpelukan dan berciuman, kami menikmati sisa-sisa orgasme. Kulepaskan penisku dari vaginanya, tubuh kami sudah licin dan basah oleh keringat yang membanjir.
Setelah tenagaku pulih, aku menggendong dan mendudukkannya di meja belajar. Sebenarnya aku mau melakukan doggy style, karena Sinta paling enak digarap dengan posisi ini (baca “Hadiah Bagi Pahlawan”). Namun dengan kondisi kaki seperti ini tentu tidak nyaman baginya, maka kugarap dia dengan posisi duduk di meja. Tubuhnya menggelinjang liar di atas meja sampai setumpuk buku di dekatnya berjatuhan ke lantai akibat tersenggol olehnya. Mulutnya juga aktif mengimbangi dengan ciuman dan jilatan baik pada mulut, leher, dan telingaku.
Kali ini aku akhirnya berhasil meng-KO-nya setelah sodokan-sodokan khasku membuatnya orgasme lebih awal dan memintaku berhenti. Namun aku terus menggenjotnya beberapa menit sampai aku mencapai klimaks.
“Ha.. ha.. ha.., akhirnya ngaku kalah juga lu Sin..!” kataku dengan bangga.
“Licik, gua kan masih sakit, tunggu aja kalo gua sembuh nanti Le..!” balasnya.
Walaupun aku menang darinya, namun terus terang aku sendiri merasakan kelelahan yang amat sangat. Butuh waktu dan tenaga extra untuk menaklukkan gadis berpengalaman seperti dia.
Aku menggendongnya kembali ke ranjang, kami berbaring menyamping berhadapan.
Lalu dia tersenyum, sambil mencolek hidungku dia berkata, “Nakal juga yah lu, tega-teganya ngentotin ceweknya sobat sendiri.”
“Ah, lu juga Sin, masa cowoknya saudara lu (Sinta dan Vivi masih saudara jauh) juga lu ajak gituan..!” balasku.
“He.. he.. he.. ngga apa-apalah sekali-sekali selingkuh, yang penting kan hati gua tetap buat Andry dan hati lu tetap buat Vivi, ya ngga Le, it just sex, not love..,” jawabnya.
Aku mengambil dan mengenakan kembali pakaianku, lalu kubantu dia memakaikan pakaiannya. Waktu sudah menunjukkan lebih dari jam 12 malam.
“Sin, gua mau balik dulu, cepet sembuh yah, bye..,” kataku sambil mengecup keningnya.
Sampai di kamar, aku langsung tertidur kelelahan. Lain kali akan kuceritakan pengalaman lain yang tidak kalah menarik, terutama dengan pacarku yang belum kuceritakan sampai sekarang.,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
TAMAT
Kejadiannya masih dengan orang yang sama dengan kisahku yang sebelumnya, yaitu Sinta. Dia adalah teman sekampusku yang berbeda fakultas, selain itu dia juga teman kostku. Tingginya kira-kira 160 cm, umur 21 tahun, keturunan Chinese sepertiku, rambutnya kini sudah panjang sebahu lebih di-highlight kemerahan. Sifatnya yang periang dan lucu membuatnya mudah dekat dengan orang lain. Namun Sinta ini agak nakal, sehingga tidak heran ketika umur 16 tahun sudah kehilangan keperawanannya, dan sampai sekarang sudah 3 kali pacaran. Dua kali pacaran di SMA yang berumur pendek, dan yang sekarang yang ketiga dengan temanku yang sedang belajar di luar negri.
Saat itu Sinta baru pulang dari rumah sakit setelah beberapa hari lamanya menginap di sana akibat jatuh dari tangga kampus. Walaupun sudah keluar rumah sakit, tapi kaki kirinya masih diberi obat dan belum dapat berjalan dengan benar, sehingga harus dibantu dengan tongkat. Ya, selama masa-masa itulah dia menjadi ‘ratu’ di kost kami, beberapa keperluan seperti makan dan urusan beli membeli dibantu oleh teman-teman kostnya termasuk aku.
Suatu malam aku baru belanja di mini market dekat kostku, sekalian kubelikan juga barang-barang titipan Sinta. Waktu itu sudah hampir jam 9 malam, tapi kamar Sinta masih menyala, maka aku menyempatkan diri berkunjung ke sana sekalian menyerahkan barang-barang titipannya.
“Masuk aja, belum dikunci kok..!” sahut suara dari dalam ketika pintu kuketuk.
Sinta sedang duduk di ranjang sambil nonton TV, “Eh, Le tolong sekalian ambilin rokok gua dong di laci meja dong..!” pintanya.
Kuberikan sebungkus rokok itu padanya dan dia menyulutnya sebatang.
“Masih melek juga lu Sin, ngga ngantuk nih..?” tanyaku.
“Ya gimana bisa ngatuk, hampir seharian di ranjang melulu kok, lu kok baru dateng sekarang sih, gua BT banget nih, acara TV-nya pada garing lagi, uuhh.., sebel..!” gerutunya.
“Kan gua sibuk Sin, temen-temen lain kan tadi juga banyak yang main ke sini kan.”
“Iya, tapi kan sepi kalo ngga ada lu buat temen ribut.” jawabnya sambil tersenyum nakal.
Kami akhirnya ngerumpi macam-macam sampai tidak terasa sudah lebih dari jam 10 malam, dan kulihat Sinta sudah menghabiskan 2 batang rokok.
Sebelum dia hendak mengambil kotak rokok untuk mencabut batang yang ketiga, aku mendahuluinya dan berkata, “Udah Sin, ini udah ketiga loh, lagi sakit gini kok makan asap terus sih, mau cepet mati yah..?”
“Aahh.., kok gitu sih, gua di rumah sakit ngga boleh ngerokok nih, kembaliin sini..!”
“Jangan ah Sin, ngga baik, lu kan belum sembuh betul..!” kataku sambil mengoper ke tangan yang satu lagi, sehingga kotak rokok itu makin menjauh darinya.
Sinta hanya dapat menggapai-gapai karena kakinya masih pincang sebelah.
“Iihh.., yang lagi sakit kan kaki gua, ngga nyambung lu ah, mana sini..!”
“Udah ah, besok aja lagi, udah segitu banyak masa ngga cukup sih..?”
Sinta lalu melipat tangan dan membuang muka terhadapku, “Jahat..! Lu beraninya cuma sama cewek pincang, sebel..!”
Nah, keluar deh salah satu ‘jurus’-nya kalau keinginannya tidak dituruti, paling pusing deh kalau dia sudah begini.
“Alahh, udahlah Sin, gua sih udah ngga mempan sama cara gituan, ini kan buat kebaikan lu juga.” bujukku mencoba menenangkannya.
“Eeemmhh.. Leo jahat, awas loh, pokoknya ntar gua bilangin ke Vivi lu dulu pernah gituin gua sama Ci Diana..!” ancamnya, lalu dia berbaring dan menarik selimut sampai menutupi kepalanya.
“Aduh, Sin jangan gitu dong, kita damai aja deh ya..?” kataku sambil menggoyangkan badannya.
Tapi dia tetap diam di balik selimut, maka kudekatkan posisiku dengannya dan mengguncang-guncangkan badannya lebih keras.
“Sin.., Sin..! Wah, marah euy, sori dong Sin, gua kan cuma main-main aja, gitu aja kok marah sih..!”
Tiba-tiba dia membuka selimut dan menyambar tanganku yang memegang rokoknya. Aku yang tidak menduga gerakannya tentu saja kaget dan kehilangan keseimbangan, sehingga ikut tertarik ke depan. filmbokepjepang.com Dengan tidak sengaja aku menyentuh payudaranya, namun anehnya kami malahan terdiam dalam posisi itu. Wajahku hanya 5 cm dari wajahnya, aku dapat merasakan di balik dasternya itu dia tidak memakai BH. Wajah Sinta memerah dan memelototiku, tapi entah karena kekuatan apa, wajah kami makin mendekat saja seperti magnet.
Tanpa pikir panjang lagi, langsung kulumat bibir Sinta yang indah itu. Kami berciuman mesra, kini mulut kami mulai membuka dan beradu lidah. Sinta begitu agresif memainkan lidahnya di mulutku, teknik berciumannya sangat profesional, maklum walau lebih muda tapi pengalaman sex-nya lebih banyak dariku.
Ciumanku mulai turun ke telinga dan lehernya, sementara tanganku meremas dadanya. Kubuka selimut yang menutupi tubuhnya, lalu kusingkap pakaian tidurnya sehingga tampak kedua belah pahanya yang panjang dan putih mulus dengan kaki kiri yang terbalut perban itu.
“Le.., pintunya, pintunya kunci dulu dong, ntar ada yang tau..!” katanya.
Aku baru sadar dan segera kukunci pintu dan kumatikan lampu kamar dan menyisakan lampu neon 10 watt di dekat ranjang.
Setelah kubuka seluruh pakaianku dan menyisakan CD-ku, kudekati dia yang terbaring pasrah. Aku menaikkan dasternya perlahan-lahan sambil mengelus-elus tubuhnya yang mulus. Sekarang yang tersisa di tubuh Sinta hanya sebuah celana dalam putih tipis yang menampakan bulu-bulu kemaluanya yang lebat. Aku berbaring di sisinya dan memulai seranganku dengan mengecup lembut bibirnya, sementara tanganku mulai merambat ke bawah mengusap-usap kemaluannya yang masih tertutup CD.
Nafas Sinta sudah mulai memburu dan mengeluarkan suara-suara tidak jelas seperti mengigau, mulutku terus turun menuju payudaranya. Puting susunya yang mungil berwarna pink itu kuemut disertai dengan gigitan-gigitan kecil. Di tempat lain, tanganku menyusup ke dalam CD-nya, jari-jariku bermain di vaginanya yang mulai basah. Mula-mula kugosok-gosok dan kupermainkan klistorisnya dengan lembut, sampai tiba-tiba kusodokkan jariku ke dalam liang itu agak keras, sehingga Sinta tersentak dan menjerit kecil.
“Awww.., Leo. Gitu ihh.. ngagetin orang melulu, sebell..!” katanya sambil mencubit dadaku.
Aku tersenyum licik dan berkata, “Apa Sin..? Kaget..? Gimana kalo gini lebih kaget ngga..?”
Habis berkata, aku langsung menusuk-nusukkan jariku dengan cepat pada vaginanya, sehingga dia menggelinjang-gelinjang seperti cacing kepanasan.
“Aahh.. oohh.. Le.. jelek..! Awww.., sebel ihh..!”
Aku tambah bergairah mendengar jeritannya itu, kutambah lagi seranganku dengan mengulum daun telinganya dan sesekali kujilati lubang telinganya. Sinta semakin erat memelukku.
“Le.., oohh.. udah dong.., jangan siksa gua.. ahh..!”
Saat tubuhnya mulai mengejang, aku menghentikan seranganku pada vaginanya dengan maksud mempermainkan nafsunya.
“Yahh.., kok udahan sih, padahal kan bentar lagi..?” protes Sinta dengan nafas masih memburu.
“Hehehe.., sabar Sin, ini baru pemanasan, liat aja nanti..!”
Kukeluarkan tanganku dari celana dalamnya, dan kulihat jari-jariku belepotan cairan bening dari liang kemaluan Sinta. Kuoleskan cairan itu pada payudara kirinya.
“Eemmhh Leo, jorok iihh..!”
Aku tidak perduli omelannya, dan kuteruskan dengan menjilati dadanya yang sudah kuolesi dengan love juice, rasanya memang aneh tapi sungguh nikmat, apalagi bercampur dengan payudara montoknya Sinta, sukar dilukiskan rasanya.
Setelah puas menyusu, aku mengambil posisi berlutut diantara perutnya, dan Sinta yang sudah tahu kemauanku segera bangkit dan duduk di ranjang. Kini batang kemaluanku yang masih terbungkus celana dalam tepat di depan wajah Sinta. Mula-mula dielus-elusnya gundukan keras itu dengan tangan dan pipinya, lalu dibukanya CD-ku hingga menyembullah benda di baliknya yang sudah mencapai ukuran maksimal.
“Ckk.. ck.. ck.. gile, lucky banget tuh si Vivi bisa sering diservis ama ‘adek’ lu ini, gua paling cuma kalo si Andry pulang aja..,” katanya sambil mengelus-elus penisku.
Bibir Sinta mulai turun menuju kedua bola ‘pusaka’-ku, dijilati dan diemutnya benda itu. Setiap jengkal kemaluanku tidak luput dari jilatannya, hingga kemaluanku basah kuyup oleh ludahnya, tapi dia belum juga memasukkan penisku ke mulutnya.
“Sin, cepet dong, kok cuma dijilat aja, ngga tahan nih..!” kataku tidak sabar.
“Eeiitt, sabar Le, ini kan baru pemanasan, tunggu dong, kalau makan es krim waktu panas-panas kan harus pelan-pelan baru kerasa enaknya.”
Sialan, pinter juga nih anak membalasku tadi, tapi bener juga perkataannya, kalau terlalu buru-buru memang kurang terasa nikmatnya.
Kini diarahkannya penisku ke mulutnya, mula-mula diciumnya kepala kemaluanku, kemudian perlahan-lahan mulut mungilnya mulai membuka, sedikit demi sedikit batangku ditelan sampai menyentuh di tenggorokkannya, sebelum mulai dia melirik padaku dulu dengan tatapan nakalnya. Harus kuakui, sungguh hebat si Sinta ini dalam bercinta, penisku dikulum-kulum dalam mulutnya, divariasikan dengan permainan lidahnya. Terkadang dia juga menjilati lubang kencingku, sehingga aku tidak tahan untuk tidak mendesah.
“Uuuhh.., aakkhh.. edan.. belajar darimana.. lu.. aahh.. Sin..? Enak banget ahh..!”
Tanpa menghiraukan pertanyaanku, dia terus mengkaraoke penisku, kepalanya maju mundur dan sesekali dia melirik wajahku untuk melihat reaksiku.
Dalam waktu kurang dari 15 menit, akhirnya, “Creet.. creet.. creet..!” beberapa kali ‘adik’-ku muntah-muntah di mulut Sinta disertai desahan panjangku.
Hebatnya, dia tidak melepaskan penisku dari mulutnya, dia tampak berkonsentrasi menghisap dan menelan habis semua cairan itu. Penisku serasa disedot vacum cleaner saja waktu itu, tidak sedikitpun spermaku menetes keluar dari mulutnya. Baru setelah tidak ada yang muncrat lagi, dia perlahan-lahan melepaskan penisku.
Dia tersenyum padaku dan berkata, “Wah, payah lu, baru sebentar udah ngecret, si Andry aja masih tahan lebih lama dari lu loh..!”
“Habis udah konak banget sih Sin, lagian lu kok karaokenya enak banget, beda sama Vivi dan Ci Diana, swear loh..!”
“Iyalah Le.., Vivi dan Ci Diana kan cewek alim, ngga bandel kaya gua..”
Sinta kembali berbaring, celana dalamnya kulepas dengan hati-hati, terutama saat melewati kaki kirinya, karena takut menyakitinya.
“Sin, jangan terlalu ribut yah, kalo si Thomas dan Ami denger bisa gawat..!” kuperingatkan dia karena posisi kamar ini tidak begitu strategis, sementara Sinta kalau ML ribut banget.
Pantas kalau Andry pulang ke Indonesia, Sinta sering tidak pulang ke kost, rupanya si Andry juga mau cari aman.
Aku mengatur posisi, Sinta berbaring miring dan kaki kanannya kuangkat. Meskipun unvirgin, tapi kemaluannya masih rapat dan kencang (pasti rajin dirawat nih), penisku lumayan susah juga menembus vaginanya, untung ada love juice dan ludah yang melumuri penisku sebagai pelumas. Perlahan-lahan penisku mulai tertanam pada liang itu diiringi desah kenikmatan Sinta. Saat kurasa penisku sudah masuk penuh, kuhentikan sejenak aktivitasku agar Sinta dapat terbiasa dan menikmati dulu.
Sambil kubelai rambutnya, kusentakkan pelan pinggulku, makin lama gerakkanku makin cepat, bahkan sesekali aku melakukan sodokan keras terhadapnya. photomemek.com Sinta menjerit-jerit sambil menggigiti jarinya berusaha agar jeritannya tidak terlalu keras. Hampir setengah jam kami bertahan dengan posisi itu, kurasakan dinding kemaluannya mulai berdenyut-denyut menyebabkan penisku makin tertekan. Tubuhnya meronta-ronta dengan liar, jeritan yang keluar dari mulutnya pun makin histeris. Mendengar rintihan tidak karuan itu, aku makin ganas saja, payudaranya kuremas-remas dengan brutal, sehingga dia makin kesetanan.
“Le.., ahh.. akkhh.. boleh.. ohh.. di dalam.. akhh..!” katanya lirih.
Kami akhirnya mencapai puncak kenikmatan bersama, spermaku tertumpah di rahimnya, sebagian meleleh keluar karena cukup banyak. Kulumat bibirnya agar jeritannya terhambat. Sambil berpelukan dan berciuman, kami menikmati sisa-sisa orgasme. Kulepaskan penisku dari vaginanya, tubuh kami sudah licin dan basah oleh keringat yang membanjir.
Setelah tenagaku pulih, aku menggendong dan mendudukkannya di meja belajar. Sebenarnya aku mau melakukan doggy style, karena Sinta paling enak digarap dengan posisi ini (baca “Hadiah Bagi Pahlawan”). Namun dengan kondisi kaki seperti ini tentu tidak nyaman baginya, maka kugarap dia dengan posisi duduk di meja. Tubuhnya menggelinjang liar di atas meja sampai setumpuk buku di dekatnya berjatuhan ke lantai akibat tersenggol olehnya. Mulutnya juga aktif mengimbangi dengan ciuman dan jilatan baik pada mulut, leher, dan telingaku.
Kali ini aku akhirnya berhasil meng-KO-nya setelah sodokan-sodokan khasku membuatnya orgasme lebih awal dan memintaku berhenti. Namun aku terus menggenjotnya beberapa menit sampai aku mencapai klimaks.
“Ha.. ha.. ha.., akhirnya ngaku kalah juga lu Sin..!” kataku dengan bangga.
“Licik, gua kan masih sakit, tunggu aja kalo gua sembuh nanti Le..!” balasnya.
Walaupun aku menang darinya, namun terus terang aku sendiri merasakan kelelahan yang amat sangat. Butuh waktu dan tenaga extra untuk menaklukkan gadis berpengalaman seperti dia.
Aku menggendongnya kembali ke ranjang, kami berbaring menyamping berhadapan.
Lalu dia tersenyum, sambil mencolek hidungku dia berkata, “Nakal juga yah lu, tega-teganya ngentotin ceweknya sobat sendiri.”
“Ah, lu juga Sin, masa cowoknya saudara lu (Sinta dan Vivi masih saudara jauh) juga lu ajak gituan..!” balasku.
“He.. he.. he.. ngga apa-apalah sekali-sekali selingkuh, yang penting kan hati gua tetap buat Andry dan hati lu tetap buat Vivi, ya ngga Le, it just sex, not love..,” jawabnya.
Aku mengambil dan mengenakan kembali pakaianku, lalu kubantu dia memakaikan pakaiannya. Waktu sudah menunjukkan lebih dari jam 12 malam.
“Sin, gua mau balik dulu, cepet sembuh yah, bye..,” kataku sambil mengecup keningnya.
Sampai di kamar, aku langsung tertidur kelelahan. Lain kali akan kuceritakan pengalaman lain yang tidak kalah menarik, terutama dengan pacarku yang belum kuceritakan sampai sekarang.,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
TAMAT